Keadilan, sebuah kata yang biasa didengarkan dan diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan kata ini masuk di dalam salah satu dasar negara Indonesia, sila terakhir, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Akan tetapi dalam perkembangannya, proses untuk mencapai situasi adil tidak semudah ketika kita mendengarkan dan membicarakannya. Ada dimensi personal dan interpersonal yang perlu ditelisik kemudian dipandang secara matang demi mewujudkan situasi ini. Dengan segala pemikiran juga kesejarahannya, menjadi dan mewujudkan situasi adil akan semakin sulit. Sejarah pun mencatat banyak sekali pemikir dari era Yunani Kuno hingga hari ini berusaha untuk memaparkan apa itu keadilan dan bagaimana cara untuk mencapainya. Dari seorang Plato yang menyatakan bahwa keadilan dapat diwujudkan ketika 3 fungsi dari sebuah negara – pemerintahan, militer dan rakyat – dapat berjalan dengan semestinya. Ditambah dengan negara tersebut dipimpin oleh orang-orang yang bijak, dengan kata lain orang-orang yang memahami filsafat atau Philosopher King. Kemudian muncul pemikiran klasik yang kemudian mengemukakan bahwa kontrak sosial adalah solusi untuk mencari titik temu diantara semua dimensi personal dan interpersonal. Hingga, pemikiran yang menyatakan bahwa trust atau rasa percaya adalah kunci dari keadilan itu sendiri – meskipun pada paparan teorinya, hal ini tidak semudah konsep percaya yang kita ketahui.
Bicara pada Indonesia hari ini, konsep keadilan dirasa relevan dan masih perlu diperbincangkan secara akademis maupun obrolan warung kopi tiga ribuan – yang sering kali dianggap tidak relevan karena penuh dengan “kesesatan logika” dan cenderung menitikberatkan pada nilai moral tertentu. Anggapan saya ini diperkuat dengan perbincangan hangat – atau malah panas – di penghujung tahun 2016 ini, dimana Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah Gubernur DKI Jakarta di tahun 2017 sudah semakin dekat. Pemicu dari perbincangan ini adalah seorang Basuki Purnama, atau biasa dipanggil Ahok yang merupakan incumbent dan calon Gubernur DKI Jakarta, selepas majunya Joko Widodo menjadi Presiden Indonesia tidak lama setelah pelantikannya menjadi Gubernur. Terlepas dari masalah “penistaan agama” yang sedang berjalan, perbincangan mengenai bisakah ia menjadi Gubernur DKI, atau dengan kata lain menjadi pemimpin? Mungkin jika kita melihat ini dalam dimensi pembahasan politik, seperti program pemerintahannya jika ia terpilih nanti atau melihat track record semasa ia memimpin, kita akan menganggap hal ini biasa dan tidak memasukkannya ke dalam problem keadilan. Akan tetapi, yang menjadi agenda utama dari beberapa, yang dapat dikatakan sebagai, lawan politiknya adalah latar belakang seorang Purnama ini dimana ia adalah seorang keturunan Cina dan Kristiani, dua golongan minoritas di Indonesia. Permasalahan keadilan yang dapat diajukan disini adalah bagaimana seseorang dengan latar belakang minoritas dan kesejarahan dari golongan tersebut yang dapat dikatakan buruk dapat memiliki kesempatan serupa seperti warga negara lainnya. Di sini saya melihat dimensi ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia, dimana masyarakat lebih cenderung melihat pemimpin bukan dari visi dan kinerja terdahulunya, melainkan dari golongan apa dia berasal. Sebagai seorang politikus, jelas sekali seorang Purnama pasti memiliki kekurangan dalam tiap kebijakannya, dan sudah seharusnya masyarakat mengkritik hal ini untuk mencari keputusuan yang tepat, akan tetapi menurut saya ini adalah dimensi pembuktian setelah kesempatan diberikan. Kesempatan atau opportunity adalah kata yang bagi saya sedikit banyak tepat untuk menjelaskan keadilan. Ini pula yang kemudian membuat saya beranggapan bahwa Purnama seharusnya bisa maju sebagai calon Gubernur. Tidak melihat dari manakah golongannya, seseorang sudah seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama setelah memenuhi persyaratan yang berlaku. Kemudian, tidak hanya pada prosesi pemilihan pimpinan saja. Pengaplikasian opportunity ini pula sudah seharusnya dijalankan pada setiap lapisan masyarakat, termasuk lingkungan kerja hingga keluarga sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat. Sudah seharusnya, setiap individu memiliki kesempatan serupa yang kemudian akan melalui proses pembuktian, bagaimana individu tersebut bertindak untuk menjadi orang yang tepat atas suatu kesempatan. Diskriminasi seharusnya perlahan disingkirkan beriringan dengan pemahaman kesempatan ini. Kesempatan ini harus melampaui setiap latar belakang yang ada. Etnis, garis keturunan, pemikiran, kepercayaan bahkan gender sekalipun. Seorang perempuan dalam lingkungan kerja pun seharusnya diberikan kesempatan yang sama dalam dunia kerja, ini pun juga berlaku bagi laki-laki yang ingin menjadi “bapak rumah tangga” dan kemudian diberikan kesempatan untuk melakukan yang terbaik dalam “pekerjaannya” ini. Saya merasa bahwa mewujudkan keadilan dari persamaan kesempatan, seperti pemikiran yang lain, memiliki kekurangannya sendiri. Ini juga tidak terlepas dari adanya dimensi latar belakang, terutama dari latar belakang kekayaan keluarga seseorang. Pada praktiknya, seseorang yang lahir di dalam keluarga dengan kekayaan melimpah akan memiliki kecenderungan untuk memiliki kesempatan yang lebih besar. Di sini saya melihat bahwa akan ada unsur “peran” yang akan muncul, seseorang yang lahir dari latar belakang keluarga kaya akan memberikan kesempatan bagi mereka yang “kurang beruntung”. Dari peran ini kemudan muncul adanya hubungan saling memberi kesempatan dan pembuktian. Dimana orang dengan kuasa dan kesempatan yang lebih akan memberikan kesempatan bagi tiap orang lainnya, dan yang diberi kesempatan akan berusaha untuk membuktikan dirinya pantas untuk menerima kesempatan tersebut, dan bagi saya ini adalah proses bagaimana keadilan dapat terwujud.
0 Comments
Diterbitkan ulang dari blog terdahulu.
Star Wars, yang merupakan sebuah mahakarya industri perfilman Hollywood, merupakan sebuah tonggak awal berkembangnya genre fiksi ilmiah dalam sejarah perfilman dunia. Menceritakan tentang pertarungan abadi antara dua golongan pengguna The Force, yang merupakan medan energi yang menghubungkan semua makhuk hidup satu dengan lainnya, dengan falsafahnya masing-masing. Di dalam jalan cerita, dikisahkan Jedi, golongan pengguna Force yang lebih mementingkan harmoni dibandingkan kekuasaan, berusaha menghentikan dominasi Sith, golongan pengguna Force dengan kekuasaan sebagai prioritas utama, yang sudah mengusai seluruh jagat raya. Dalam dunia yang dikisahkan Star Wars, masing-masing dari golongan tersebut memiliki “aturan dasar” yang menjadi pegangan atau falsafah yang dijalankannya. Meskipun Jedi digambarkan sebagai protagonis yang mengingan kedamaian diatas dominasi Sith, namun aturan dasar yang dianut Jedi mengandung kode moral yang bisa jadi menindas subyektifitas para pengikut, anggota atau kesatria Jedi itu sendiri. Dugaan yang muncul ini pun juga didukung oleh penghianatan Anakin Skywalker, seorang padawanJedi (Jedi yang masih dalam masa pelatihan), terhadap golongannya. Karena merasa dirinya patut memperjuangkan keinginannya untuk melindungi keluarga dan orang-orang yang dicintainya, yang kemudian merubahnya menjadi Darth Vader, seorang Sith terkuat dan menjadi musuh terbesar golongan Jedi, juga menjadi tokoh utama terbentuknya Galactic Empire kerajaan yang dibentuk golongan Sith untuk menguasai jagat raya. Sebagai sebuah golongan yang besar dan memiliki ajarannya sendiri, Jedi memiliki sebuah pandangan dasar atau falsafah yang dijadikan dasar para kesatrianya dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Pada dasarnya, ajaran dari falsafah ini mengharuskan bagi para kesatria Jedi untuk tidak menyerahkan dirinya kepada rasa amarah terhadap makhluk hidup lainnya – dikisahkan dalam seri film ini bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang berkesadaran – yang dapat menjaga mereka dari rasa takut dan “terjerumus” kedalam sisi gelap dari Force. Dengan kata lain, menjadi anggota atau kesatria Sith. “Tidak ada emosi, hanya ada kedamaian Tidak ada kebodohan, hanya ada pengetahuan Tidak ada gairah, hanya ada ketenangan Tidak ada kekacauan, hanya ada harmoni Tidak ada kematian, hanya ada The Force” - The Jedi Code (Star Wars: Dark Disciple) Jika kita melihat isi dari code tersebut, Jedi adalah kumpulan pengguna Force yang berusaha untuk menjaga hidupnya agar tetap stabil sehingga menciptakan harmoni antar tiap makhluk hidup yang memang terhubung juga dalam satu medan energi Force. Akan tetapi, dalam menjalankan ini para Jedi mengharuskan menutup diri mereka dari segala sifat-sifat kealamian manusia yang memang memiliki keenam hal yang dikatakan “tidak ada” dalam code tersebut. Dalam sejarah pemikiran yang berlangsung selama berabad-abad, banyak pemikiran yang mengatakan bahwa hal-hal yang disampaikan di atas merupakan hal yang dibutuhkan manusia agar terbebas dari segala penindasan-penindasan. Kita juga mungkin melihat bahwa tidak ada kecacatan dalam code ini untuk mewujudkan jagat raya yang damai, akan tetapi apa yang terjadi kepada Anakin Skywalker dalam kisah Star Wars ini menjadi contoh betapa ia ingin terbebas dari penindasan. Skywalker, yang merupakan seorang Padawan Jedi, merasa tertindas dengan ajaran Jedi dimana ia harus berusaha menahan emosi atau rasa cintanya terhadap Padme Amidala, yang kemudian menjadi istrinya. Berulang kali ia berusaha melindungi orang terkasihnya tersebut hingga dia menjadi Sith. “Kedamaian adalah sebuah kebohongan, hanya ada gairah Dengan gairah, aku meraih kekuatan Dengan kekuatan, aku meraih kekuasaan Dengan kekuasaan, aku meraih kemenangan Dengan kemenangan, rantaiku (yang membelenggu) terlepas The Force akan membebaskanku” - Jalan Sith (Book of Sith: Secrets from The Dark Side) Di sisi lain, Sith memiliki falsafah yang mengajarkan bahwa Force seharusnya membuat manusa menjadi pribadi yang berkuasa atas dirinya sendiri dan menjadi bebas. Falsafah dari Sith mungkin akan terkesan arogan. Akan, tetapi kita akan bisa melihat bagaimana para kesatria Sith berusaha selalu menjadi lebih kuat dan meraih kemenangan, paling tidak atas dirinya sendiri, kemudian pada akhirnya membebaskan diri mereka dari rantai yang membelenggu mereka. Star Wars memanglah memiliki kesan bagi seluruh penggemar dan jutaan pasang mata yang menyaksikannya. Seri film ini juga menjadi budaya populer yang mendunia dan menginspirasi banyak sineas perfilman di seluruh dunia untuk terus mengembangkan karyanya di genre fiksi ilmiah. Dipenuhi dengan drama dan aksi yang menakjubkan. Jika dilihat dari penjelasan yang sudah disampaikan, perjuangan yang dilakukan oleh Jedi dan Sith bukanlah perjuangan “benar” dan “salah”, melaikan perjuangan untuk dapatkan harmoni atau mendapatkan kebebasan subyektifitas. Kemudian, menjadi menarik bagaimana seri film ini memberikan nilai pembelajaran kepada penontonnya dengan tidak memberitahukan secara jelas manakah pihak yang benar dan mana yang salah. Perspektif yang digambarkan dalam film ini hanyalah golongan Jedi sebagai protagonis dan Sith sebagai antagonis, dimana istilah protagonis dan antagonis bukanlah istilah yang juga menjelaskan baik dan buruk. Namun, jika kita berkaca dengan apa yang disampaikan pemikiran-pemikiran yang berusaha untuk membebaskan subyektifitas dari segala belenggu penindasan adalah refleksi dari Sith yang memang memanfaatkan Force sebagai medan energi yang membebaskan mereka. Mengalami sedikit perubahan dengan essai yang diterbitkan untuk acara diskusi Deadpool UI dengan judul yang sama. Diedit dan ditambahkan oleh Fathul Purnomo.
Latar Belakang YouTube YouTube adalah sebuah situs media sosial video yang bermarkas di San Bruno, California, Amerika Serikat. Didirikan oleh Steve Chen, Chad Hurley dan Jawed Karim, yang merupakan 3 mantan pegawai PayPal dan pertama kali diluncurkan pada Februari 2005, secara resmi pada bulan Desember. Ide awal dari ketiga founder dari YouTube ini cukup unik, Karim ketika itu merasa kesulitan karena video viral di Amerika ketika itu tidak bisa ia temukan, sedangkan Chen dan Hurley terinspirasi oleh situs kencan dan merasa penting bagi pengguna situs kencan untuk menaruh video sebagai promosi bagi diri mereka sendiri, dari dua ide yang cukup aneh tersebut terciptalah YouTube. Video pertama yang diunggah di situs ini berjudul Me at the Zoo, sebuah dokumentasi singkat dari Karim di Kebun Binatang San Diego. Setelah situs ini berkembang, Google kemudian mengakuisisi situs ini pada November 2006 dan hingga hari ini, YouTube adalah salah satu aset besar yang dimiliki perusahaan teknologi tersebut. Dengan semakin besarnya YouTube sebagai wadah berbagi video, para content creator, atau dengan sebutan lain YouTuber, menjadi lebih kreatif dengan apa yang ingin sajikan. Sehingga banyak anggapan, YouTube adalah sebuah alternatif baru atas sajian visual dibandingkan dengan televisi. Konten yang disajikan kreator di YouTube sangatlah beragam. Dari konten positif seperti edukasi, musik, komedi, reactions, dan film pendek, dengan munculnya beberapa channel seperti Wisecrack, Game Theorist, Fine Brothers Entertainment, Boyce Avenue, Kurt Hugo Schneider dan Tyler Oakley. Hingga konten “negatif", seperti Dark Humor, social commentary, horor dan hal-hal yang masih dalam sirkulasi perdebatan sosial, dengan channel seperti iDubbbzTV, h3h3productions, dan tidak lupa, TVFilthyFrank. Para YouTuber ini kemudian mendapatkan penghasilan dari Google AdSense, dimana Google dengan para YouTuber melakukan kerjasama yang kemudian Google akan menaruh iklan pada awal, tengah atau akhir video, tergantung dari durasi video yang diunggah. Sensorsip, Hiperrialititas dan Privasi YouTube sendiri bukanlah sebuah situs tanpa masalah. Beberapa persoalan seperti copyright and fair use serta censorship mengemuka diakhir-akhir ini. Seperti dalam dunia industri lainnya, dua permasalahan ini kemudian muncul ketika banyak YouTuber dalam proses pembuatan video mereka menggunakan musik atau potongan-potongan video dari pihak lain ataupun penggunaan kata-kata (yang bagi pihak YouTube) kasar ataupun tidak sesuai dengan community guideline. Dari segi copyright ataupun fair use, sebenarnya beberapa content creator di internet (entah di YouTube ataupun situs lainnya) biasanya menyantumkan bagaimana karya mereka hadir dalam ruang lingkup hak cipta. Akan tetapi, dalam beberapa kasus para YouTuber mengeluhkan beberapa copyright strike yang dilakukan YouTube tidak memiliki alasan jelas, juga terkadang pihak yang melancarkan strike tersebut justru bukanlah pihak yang bersangkutan. Tidak jarang juga dilancarkan pihak-pihak perusahaan besar dan bagi sebagian YouTuber ini adalah sebuah kelaliman YouTube untuk melindungi perusahaan besar. YouTube melakukan ini bukanlah tanpa dasar, banyak gugatan hukum atas hak cipta dilakukan beberapa organisasi seperti Viacom, Mediaset dan English Premier League berhasil membuat YouTube kalang kabut dengan biaya kerguian yang dapat mencapai milyaran Dollar Amerika. Gugatan tersebut, bisa jadi, adalah alasan mengapa perihal copyright dan fair use ini semakin diperketat. Pada tahun 2016, permasalahan censorship menjadi perhatian utama setelah YouTube mengeluarkan (baca: menggalakkan) peraturan advertiser-friendly guidelines. Aturan ini kemudian semakin memperkuat asumsi YouTuber mengenai “YouTube berusaha menyenangkan perusahaan besar dan ‘uang’ mereka”. Peraturan ini mengandung kontroversi dengan adanya butir-butir aturan yang memiliki unsur ketidakjelasan di dalamnya, dari larangan penggunaan kata kasar, hingga larangan pembahasan konflik politik dan perang meskipun gambar atau video tidak ditunjukkan. Jika video memiliki unsur tersebut, maka video tersebut tidak akan bisa diiklankan. Jelas sekali YouTuber akan dirugikan, karena mereka tidak bisa mengeluarkan pendapat mereka akan suatu pembahasan politik dan juga kehilangan penghasilan mereka. Contoh yang paling jelas terjadi pada kasus ini terjadi pada salah satu YouTuber senior, Philip DeFranco dimana ia membahas beberapa berita terbaru dari dunia internet, teknologi, maupun sosial politik yang terjadi di Amerika dalam konten-konten videonya. Beberapa videonya tidak bisa diiklankan bahkan video lamanya dihilangkan penghasilan iklannya. Baginya ini adalah sebuah kekacauan, dia kemudian tidak merasa rugi karena dia bisa mendapatkan penghasilan lain dari merchandise yang ia jual serta beberapa endorsement. Akan tetapi, bagaimana dengan channel yang lebih kecil dengan pendapatan yang tidak sebesar Philip DeFranco? Permasalahan konten pun menjadi salah satu yang diperhatikan dalam komunitas YouTube terutama para penonton. Dijelaskan sebelumnya, konten video di YouTube memiliki keberagaman dari sisi positif dan negatif. Klasifikasi konten ini didasarkan pada reaksi penonton, dapat berupa komentar ataupun berupa rasio like dan dislike. Video yang disajikan sisi negatif seringkali berupa social commentary dimana masyarakat sangat merasa dekat dengannya. TVFilthyFrank adalah salah satu contohnya, video-video dari channel ini biasanya berupa komentar seorang Filthy Frank mengenai hal-hal populer dan viral di internet. Seperti fenomena weeaboo yang terjadi di kalangan pecinta sub-kultur pop Jepang, hingga psychological disorder seperti depression serta penyakit seperti seizure dan lain sebagainya. Konten yang disajikan channel ini pastinya menimbulkan banyak komentar, dari yang menyetujui dan menyukainya, hingga yang membenci bahkan mengahrdik seorang Filthy Frank. Akan tetapi, semua yang ada di dalam channel TVFilthyFrank merupakan sebuah staged act belaka. Joji Miller (atau George Miller) adalah mastermind dari channel ini. Dalam deskripsi channel-nya ia menyampaikan bahwa Filthy Frank adalah tokoh dimana seseorang tidak seharusnya ada di dalam masyarakat, atau dengan kata lain Filthy Frank tidak mengindahkan apa yang disebut political correctness. Hypereality, mungkin menjadi sebuah permasalahan yang bisa diangkat dalam permasalahan Filthy Frank. Garis batas antar realitas dan karakter menjadi jauh lebih tipis di dalam YouTube. Ketika kita menonton sebuah video dan kita menyaksikan seorang YouTuber berbicara dan menyampaikan sesuatu, kita selalu berpikir bahwa itulah yang dipikirkannya. Kita tidak melihat adanya kemungkinan bahwa apa yang kita lihat adalah sebuah rancangan. Kita tidak biasa melihat seseuatu yang “berkarakter” muncul di hadapan kita ketika melihat situs YouTube, dan dari sini kita seharusnya bisa menyadari hal tersebut. Dalam wawancaranya bersamaTheNeedleDrop Podcast, George menyampaikan bahwa TVFilthyFrank merupakan sebuah komedi alternatif dan dihadirkan sebagai sebuah hiburan semata. Kemudian George juga menyayangkan bahwa penonton di YouTube tidak seperti di televisi, ketika orang melihat sesuatu yang hadir di TV mereka bisa memberikan batasan yang jelas. Mereka akan memaafkan Stephen Colbert ketika ia menjadi seorang konservatif di TV, namun mengapa mereka tidak memaafkan seorang George Miller ketika menjadi Filthy Frank di YouTube? Kita bisa mengatakan bahwa YouTube adalah sebuah alternatif hiburan. YouTube menyajikan konten yang dapat kita pilih sesuai preferensi kita. Ia bisa memberikan kita informasi yang bermanfaat hingga hiburan yang mungkin bagi beberapa orang tidak ada gunanya sama sekali. Namun, ketika ada ungkapan seperti “YouTube lebih dari TV,”? Saya cukup meragukan hal itu, karena YouTube dan TV adalah dua komponen media yang berbeda. Kita bisa berperan lebih di dalam YouTube, entah menjadi seorang content creator atau mungkin berbagi opini melalui comment section yang ada di setiap video. |
AuthorSeorang mahasiswa dengan kompetensi rendah yang berusaha menuangkan pikiran "minim kualitas"-nya di sebuah situs pribadinya. Karena ia cukup pengecut untuk berusaha menerbitkan tulisannya di media massa. Archives |